Muara Enim, Sumatera Selatan
LubaiAktual.id
Mata hukum tak pernah tidur. Siapa pun yang bersalah, pasti akan menuai akibat.
Kali ini, giliran seorang kepala desa yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
AS, Kepala Desa Petar Dalam, Kecamatan Sungai Rotan, Kabupaten Muara Enim, divonis penjara.
Ia terbukti bersalah dalam kasus penganiayaan terhadap seorang anak berinisial Mi.
Kasus ini terjadi pada tahun 2023 lalu. Namun, proses hukumnya baru rampung pada April 2025.
Kabar vonis ini mencuat pada Selasa (8/4/2025). Seorang warga Sungai Rotan yang enggan disebutkan namanya membenarkan hal tersebut.
“Dia dijatuhi hukuman tiga bulan lima belas hari oleh Pengadilan Negeri Muara Enim,” ungkap warga tersebut.
Kabar ini tidak sekadar angin lalu. Camat Sungai Rotan, Chandra Firmansyah, SE., M.Si., turut membenarkan informasi tersebut saat dikonfirmasi awak media.
“Benar, kami sudah menerima informasi resmi terkait vonis kepala desa Petar Dalam,” ujarnya.
Tak tinggal diam, Camat Chandra langsung ambil langkah cepat. Ia mengumpulkan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan seluruh perangkat desa.
Langkah itu bertujuan melakukan pembinaan dan pengawasan internal. Ia ingin memastikan roda pemerintahan tetap berjalan.
“Kami ingin pelayanan masyarakat tidak terganggu oleh kasus ini,” kata Chandra melalui pesan WhatsApp.
Ia juga menyebut, pemerintahan desa tetap stabil. Untuk menjaga itu, pihak kecamatan telah menunjuk Pelaksana Harian (Plh) Kepala Desa.
Penunjukan itu sesuai Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2017 tentang Tata Kelola Pemerintahan Desa.
“Plh Kepala Desa sudah ditetapkan agar pemerintahan tetap berjalan seperti biasa,” lanjut Chandra.
Ia juga mengimbau masyarakat tetap tenang dan menjaga situasi kondusif. Chandra menegaskan, kasus hukum tersebut telah ditangani aparat penegak hukum.
“Kita serahkan sepenuhnya kepada pengadilan. Yang penting, pelayanan tetap berjalan,” tegasnya.
Ia juga membuka komunikasi bagi masyarakat yang ingin menyampaikan aspirasi.
“Kalau ada hal prinsip, silakan langsung koordinasi dengan kami di kecamatan,” tambahnya.
Kasus ini tentu mencoreng wajah kepemimpinan di tingkat desa. Di saat rakyat menaruh harap, justru kepercayaan itu dikhianati.
Publik tentu bertanya, mengapa seorang pemimpin bisa kehilangan kendali hingga menyakiti anak? Ini bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi juga pelanggaran moral dan nurani.
Penganiayaan anak adalah bentuk kekerasan yang tak bisa dibenarkan dalam keadaan apa pun. Apalagi dilakukan oleh sosok yang seharusnya melindungi warganya.
Hukuman penjara memang sudah dijatuhkan. Namun, efek sosial dari peristiwa ini masih terasa.
Masyarakat Petar Dalam kini berharap bisa melangkah maju. Mereka ingin pemerintahan desa fokus melayani, bukan menciptakan keresahan.
Warga pun menantikan kehadiran pemimpin baru yang bisa membawa keadilan dan keteladanan. Bukan sekadar jabatan, tapi juga rasa aman dan harapan. (Umar Dani)